In the Media

“The formula of happiness and success is just, being actually yourself, in the most vivid possible way you can.” ― Meryl Streep

Indeed when we speak of me in the media, it is usually me asking people questions. Here, I get to be asked questions by fun and thoughtful interviewers. Through their questions, I get to reveal a little bit more of who I am outside the journalist persona you have been familiar with for the past decade.

Winning Piala Tuti Indra Malaon for Best New Actress at Piala Maya in 2014

Tropfest SEA (2014)

BestLife Magazine

Tuhan memang selalu punya cara dalam menunjukkan keajaiban-keajaiban-Nya kepada mereka yang memperhatikan. Kini, saya merasa keajaiban tersebut ditampakkan ke hadapan saya dalam sosok cantik yang begitu enerjik.

Bagaimana saya tidak terus memerhatikan tingkah polah Marissa Anita yang saat itu sedang menjadi pusat sorot lampu dan lensa.  Ketika diminta berjalan, dia berlari seperti anak kecil yang riang, diminta bergeser malah melompat bak kancil ber-high heels, waktunya diam dia menari, diminta menunggu, dia asyik bernyanyi dan bersiul. Ya, ia benar-benar dapat bersiul dengan keras, indah, dengan vibra pula. Ajaib memang melihat dirinya yang begitu antusias, dan itu spontan membuat saya turut hanyut dalam gairah tersebut.

Ketika saya mengorfirmasikan apa yang saya rasakan manakala memerhatikannya, presenter yang dibesarkan oleh Program Metro TV bernama 8 – 11 show ini malah tertawa seru. “That’s pretty much it is. What you feel, it is me,” ungkap wanita yang lahir di Jawa Timur pada 29 Maret 1983 Ini apa adanya.

Memasak segalanya
Marissa mengaku bahwa keterampilannya bersiul merupakan hasil ajaran sang bunda ketika dirinya masih kecil, dan terbawa sampai sekarang. “Bersiul bisa membuat diri saya bahagia,” terang wanita yang juga mengaku terampil memasak ini.

Seperti halnya bersiul, Marissa merasa tidak ada orang yang tidak bisa masak. “Mungkin belum menemukan resep yang pas saja. Dulu saya juga tidak bisa memasak. Terdorong untuk bisa ketika masa kuliah di Sydney Australia mengingat biaya hidup di sana tidaklah murah. Hidangan pertama yang saya bisa masak adalah chicken curry a la Jepang. Simple saja, tinggal beli bumbunya masukkan wortel, kentang, jadi dan enak,” bangganya.

Sekarang, wanita yang mengaku tidak memiliki pembantu di rumahnya tersebut sudah bisa memasak segalanya, termasuk masakan Indonesia seperti soto kudus, soto tangkar, dan sebagainya. “Memang, tantangan untuk masakan Indonesia harus pintar mengolah bumbu. Kalau makanan luar negeri mungkin lebih mengandalkan merica dan garam. Walau itu saja sudah enak, tetap beda kepuasannyanya jika kita sudah bisa membuat memasakan Indonesia dengan rasa yang mantap.

Selain itu bagi Marissa, merupakan sebuah pencapaian tersendiri bila berhasil memasak sesederhana apapun, tetapi dapat dinikmati oleh orang yang kita sayangi. Suami saya termasuk pemakan segalanya, dan dia tidak pernah complain dengan apapun yang saya masak,” terang wanita berdarah campuran Cina dan Minang namun tidak menyukai masakan padang ini.

Improvisasi

Seperti halnya memasak yang butuh banyak improvisasi, Marissa mengaku bahwa sehari-harinya juga tidak terlepas dari tuntutan improvisasi. Terlebih dalam hal pekerjannya sebagai presenter sekaligus jurnalis ketika menghadapi situasi sulit di lapangan.

Dalam hal ini, Marissa mengaku beruntung karena latar belakang kecintannya pada dunia theater sangat banyak membantunya. “Sering saya mengikuti workshop di mana saya hanya diberi satu kata kunci, kemudian saya diminta untuk mengarang sendiri ceritanya. Inilah yang membuat saya terbiasa menghadapi situasi-situasi tak terduga,” terang presenter yang baru berpindah stasiun televise ke net media ini.

Terlepas dari itu, Marissa sangat percaya bahwa sesungguhnya hidup itu sudah ada jalannya. “Makanya prinsip hidup saya adalah ‘fifty-fifty’.  Setengahnya adalah ketentuan Yang Maha Kuasa, sisanyaa barulah diri sendiri. Jadi Yang Maha Kuasa membukakan jalan, atau memberi pancing, kitalah yang memaksimalkannya,” ungkapnya.

Berceritalah Marissa ketika dulu dirinya diarahkan untuk memasuki kuliah tourism, ia mengaku tidak terlalu tertarik karena lebih berpikir untuk memilih jurusan mainstream.  Akhirnya dengan terpaksa ia masuk ke tourisme school. Di luar dugaan, prestasinya ternyata sangat memuaskan, sehingga menjadikannya semakin termotivasi.

Sama seperti ketika memasuki sekolah bahasa, itu bukanlah prioritasnya meskipun dirinya mengaku sangat menyukai bahasa. “Daripada memasuki kuliah manajemen yang sudah pasti saya tidak menguasainya, mending saya ke sekolah bahasa inggris. Lagi-lagi, hasilnya tidak sekadar memuaskan karena ia menjadi lulusan terbaik,” kenang lulusan Universitas Atma Jaya ini.

Ketertarikannya dengan dunia media pada akhirnya mengantarkan keputusannya untuk mengambil pascasarjana Jurnalistik di university of Sydney, New South Wales, Australia. Dan, ia pun berhasil memenuhi impiannya menjadi seorang jurnalis di televisi walau pada awalnya sempat menderita Typhus hingga dua kali akibat shift kerja yang menjungkirbalikkan jam biologisnya.“Begitulah saya, ketika sudah terjun di satu bidang, never give up, no matter how hard, just keep trying,” tegasnya.

Perfeksionis kompromistis

Marissa memang selalu konsisten dengan apa yang ia sukai. Inilah yang sempat membuatnya bermasalah karena menjadikannya sebagai pribadi yang perfeksionis. “Saya percaya bahwa hasil yang bagus adalah hasil ketekunan. Itu membuat saya sulit untuk tenang jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan.

“Contoh yang paling sederhana, ketika saya sedang membersihkan lantai, itu harus 100% bersih, tidak boleh ada satupun titik noda yang terlihat. Jika ada, itu membuat saya tersiksa untuk terus membersihkannya lagi dan lagi hingga benar-benar hilang. Sama ketika saya masih sangat oversensitive terhadap perasaan orang lain. Misalnya ada gesekan sedikit saja, saya bisa bereaksi lebih.”

Seiring dengan berjalannya waktu, kehidupan membuatnya semakin dewasa dan mudah berkompromi. “Ternyata, masih banyak hal yang lebih penting untuk kita pikirkan ketimbang harus stres dengan sedikit noda. Banyak hal yang memang tidak sesuai harapan, tetapi kita tetap harus berusaha mencapai apa yang ingin kita capai. Walau tidak sempurna, ya sudahlah. Life’s good. Don’t sweat a small things,” ungkapnya.

Sembuhkan luka

Sesungguhnya, bukan cuma perfeksionis yang dulunya menjadi masalah Marissa. Trauma pada sebuah pengalaman pahit sempat membuat hatinya hancur berkeping-keping dan menjadikannya pribadi yang sulit. “Saya dulu sangat emosional.  Ada masa ketika saya tidak percaya orang dengan mudah. Sampai-sampai,  ketika saya berusia 20 tahunan, saya ingin tidak menikah. Kalaupun harus punya anak, mungkin di usia 30-an, entah itu dengan mengadopsi atau pergi  bank sperma,” kenangnya.

Keajaiban Tuhanlah yang Marissa rasakan dengan didatangkannya sosok pria yang kemudian mengubah segalanya, yang kini menjadi pendamping setianya. “It’s wonderful to find someone who fight for you, no matter how unperfect you are. Memang tidak ada seorangpun yang sempurna, tetapi saya benar-benar jauh dari sempurna. Ternyata dia bertahan, dan mau menerima kekurangan saya. Walau saya begitu cepat marah, intinya saya adalah orang yang baik. Itu menurutnya. Saya begitu terpukau bertemu dengan seseorang yang bisa menerima kekurangan saya. Ketika Anda menemukan seseorang yang mau berjuang untuk diri Anda, itulah orang yang tepat untuk dijadikan pasangan. Banyak orang yang mudah menyerah, itu hal yang wajar, dan itu adalah hak mereka untuk menyerah. Namun jika ada yang tidak mau menyerah, itulah orang yang mengagumkan.”

Marissa mengaku bahwa sangat tidak mudah menjadi orang yang bermasalah dengan kepercayaan. Belajar mencintai lagi adalah hal yang berbeda dibandingkan belajar mempercayai lagi. Bagaimana bisa Anda mencintai lagi jika untuk percaya saja Anda sulit. Jadi, tidak ada yang bisa dilakukan kecuali menyembuhkan dulu luka tersebut, yang tentunya butuh proses dan waktu.

“Hingga sekarang, saya merasa bersyukur karena memiliki pasangan yang luar biasa dan keluarga tidak menekan saya untuk menjadi apa. Mereka tidak pernah melarang saya melakukan apapun. Yang penting saya serius dan menjalankan semuanya dengan senang hati.”

Pria Terbaik Versi Marissa
Pengalaman adalah guru terbaik. Pengalaman juga yang membuat seorang wanita tahu apa yang membuat dirinya pantas untuk memilih pria seperti apa yang layak mendapat label terbaik. Bagi Marissa, pria yang pantas untuk dijadikan pasangan adalah:

•    Terhubung.
 Buatnya, pria akan terlihat mengagumkan ketika bisa menjadi teman berbicara yang nyambung di segala hal. Mungkin tidak harus mendalami, tetapi bisa membuat topik pembicaraan apapun teranya menarik.
•    Baik hati. 
Bukan berarti pria tidak boleh marah sama sekali. Tentu akan ada hal yang tidak disetujui dan memicu perselisihan. Itu normal. Yang penting adalah dia punya hati yang tidak bisa menyakiti orang lain. Saya akan merasa aman menjadi pasangannya.
    Tidak pernah complain, apalagi terkait dengan mengkotak-kotakkan peran pria dan wanita. Pria harus mau berbagi tugas dalam urusan bersih-bersih rumah, bahkan untuk pekerjaan mencuci piring, menyapu, dan sebagainya.
•    Humoris. Ini sangat penting. Pria itu harus lucu. Bisa membuat saya tertawa setiap saat, menertawakan apa yang saya tertawakan. Itu adalah yang membuat kita sehat. Orang yang mudah tertawa itu bisanya berumur lebih panjang.

Teks: Bintang Andhika

Tempo.co

Marissa Anita Pernah Masuk Geng Bodoh

TEMPO.COJakarta – Salah satu pembawa acara berita di Metro TV, Marissa Anita, ternyata pemain teater kawakan. “Saya sudah lama main teater, sejak 2005. Delapan tahun main teater sebelum jadi wartawan, kata Marissa, saat ditemui di sela peluncuran drama ‘Legendra Padusi’ di Jakarta, Rabu 1 Mei 2013.

Biasanya Marissa tampil di panggung, membawakan drama berbahasa Inggris bersama komunitas teater ekspatriat Jakarta. Drama ‘Legendra Padusi’ yang akan dipentaskan pada 11-12 Mei 2013 di Teater Ismail Marzuki akan jadi pementasan pertamanya dengan bahasa Indonesia.

Ketika ditanya apa perbedaan signifikan drama Indonesia dibandingkan drama berbahasa Inggris, perempuan molek keturunan Minang, Cina dan Jawa ini menunjuk dua hal: bahasa tubuh dan kecepatan berbahasa.

“Di sini pelafalan bahasa cenderung lebih pelan dan lebih besar gerakannya,” kata Marissa. Meski begitu, dia mengaku menikmati belajar teater Indonesia.”Sebagai orang Indonesia, saya senang belajar teater Indonesia,” katanya.

Marissa secara khusus mengaku kagum pada tim produksi ‘Legendra Padusi’. “Semuanya berkontribusi. Ini  seperti membuat lukisan abstrak tapi hasilnya bagus banget,” katanya antusias. Ke depan, Marissa ingin lebih banyak tampil di atas panggung teater.

AISHA

MARISSA ANITA PERNAH MASUK GENG BODOH

TEMPO.COJakarta – Presenter Marissa Anita mengaku pernah menjadi anak yang tidak pintar ketika zaman sekolah dulu. Ia bahkan mengaku lebih sering bergaul dengan teman yang prestasinya kurang dari rata-rata di kelas. “Aku, tuh, main sama grup yang bodoh-bodoh, deh,” Marissa menceritakan pengalamannya kepada Tempo ketika sekolah menengah pertama, Jumat, 24 Mei 2013.

Wanita berusia 30 tahun ini pun mengaku dirinya pernah berada di peringkat terbelakang. Walau selalu naik kelas, pengalaman buruk itu terjadi sejak SD hingga SMP. Menurut dia, semakin naik kelas, prestasinya terus saja menurun. “What is wrong with me?” kata Marissa bingung terhadap dirinya kala itu.
Menurut dia, semua terjadi karena ia sangat membenci sekolah. Marissa mengaku tidak punya semangat untuk bersekolah dan belajar. “Kalau sekolah itu kayak enggak tahu passion-nya apa,” ia mengakui.

Namun kehidupannya mulai berubah ketika duduk bersebelahan dengan Tita Cyntia saat kelas tiga SMP. “Tita itu cantik, pinter, enggak sombong lagi. Dan dulu itu jarang kayak gitu,” kata Marissa.

Istri Andrew Trigg ini mengatakan, Tita mengajarinya banyak hal. Ketika Marissa mengalami kesulitan pada pelajaran matematika atau bahasa Inggris, Tita membantunya memahami bagian yang ia tidak bisa.

Tita juga berkali-kali meyakinkan Marissa bahwa dirinya bisa melakukan segala hal. “Dia itu salah satu orang yang memotivasi aku untuk selalu menjadi lebih baik. And it’s so inspiring,” kata Marissa. “Sejak itu, aku mulai belajar dengan benar. Hingga lulus SMP dan masuk SMK Theresia,” kata wanita yang sejak SD hingga SMK bersekolah di sekolah Katolik ini.

Ketika di SMK, Marissa merasa datang di dunia baru. Tidak ada yang tahu prestasi buruknya selama SD hingga SMP. Teman-temannya mengenal wanita kelahiran Surabaya ini ketika di SMA atas prestasinya.

Pada masa SMA, ia semakin ngoyo belajar. Di kelas satu SMA, ia langsung masuk peringkat 16. Semakin rajin ia belajar di SMK dengan jurusan tourism itu, prestasinya pun semakin meningkat. “Sampai kelas 3 SMA, aku rangking tiga. Itu prestasi terbaikku semasa sekolah,” katanya.
Ternyata semangat yang ditularkan Tita terus mengalir pada dirinya. Wanita yang mengambil jurusan bahasa Inggris semasa kuliah ini terus meningkatkan prestasi. Hingga akhirnya ia lulus sebagai mahasiswa terbaik di angkatannya ketika kuliah di Universitas Atma Jaya dengan IPK 3,82.

Dengan semangat terus ingin bersekolah, penyuka teater ini melanjutkan sekolah di Sydney University, Australia, dengan jurusan jurnalistik. Ia pun terus menjadi juara hingga lulus menjadi salah satu dari enam siswa terbaik di kampusnya itu. “Cuma karena satu orang percaya, ‘You are better‘, aku bisa berubah. Dan aku rasakan sendiri,” katanya mengingat pengalamannya dengan salah satu teman kecilnya itu.

MITRA TARIGAN

5 TAHUN MENIKAH, MARISSA TUNDA PUNYA ANAK

TEMPO.COJakarta – Kebanyakan pasangan yang sudah menikah ingin langsung memiliki momongan. Namun, hal itu tidak berlaku bagi presenter Marissa Anita. “Aku emang belum mau punya anak dulu,” kata Marissa, yang sudah menikah lima tahun itu, saat ditemui di Kebon Jeruk, Jakarta.

Menurut wanita 30 tahun ini, kesibukannya yang padat membuatnya takut menjadi ibu yang tidak bisa melihat perkembangan anaknya. “I don’t want to be a bad mother,” katanya langsung.

Istri Andrew Trigg ini mengaku cukup sedih melihat pengalaman teman-temannya yang lebih sering menitipkan si anak kepada neneknya sementara pasangan itu kerja mencari uang.

“Anaknya bisa tanya, kenapa dulu gue dikasih ke nenek. Aku kebayang aja kalo aku digituin sama anakku, i will feel so sad, and heart broken,” katanya memberikan alasan ia belum siap untuk menjadi seorang ibu.

Walau mengaku belum siap, wanita yang ingin punya anak paling banyak dua orang ini menargetkan akan punya anak pada umur maksimal 35 tahun. “I will be ready. One day. Not now. Paling lama umur 35 tahun aku mau udah punya,” kata lulusan sastra Inggris Universitas Atma Jaya ini.

MARISSA ANITA PILIH DI MEDIA ‘NGINGETIN’ POLITIKUS

Marissa Anita Pilih di Media 'Ngingetin' Politikus

TEMPO.CO Jakarta:Presenter Marissa Anita mengaku tidak berminat sama sekali terjun ke dunia politik. Dia tak pernah bercita-cita menjadi seorang politikus. “Nggak pernah kepikiran sama sekali,” kata wanita lulusan S1 Fakultas Bahasa Inggris Universitas Atmajaya ini  ketika dihubungi Tempo, Rabu, 9 Oktober 2013. “Blas,I never want to be a politician.”

Marissa menganggap seorang politikus memiliki pekerjaan sangat sulit. “Haduh, politisi itu medannya sulit sekali,” kata dia. Walapun, presenter stasiun televisi ini mengaku setuju dengan dinasti politik yang katanya sedang trend ini. “Saya sebenarnya nggak ada masalah sama dinasti politik selama dia mementingkan rakyat banyak.”

Ia akan memilih seorang politikus yang selalu memilih yang terbaik untuk rakyatnya. “Kalau bagus ke depannya, i would go for him,” katanya. Namun apakah ada keinginan terjun ke dunia politik, Marissa langsung menukas, “Nggak ah. Mending di media aja. Jadi bisa ngingetin para politikus itu.”

BERAGAM AGAMA WARNAI KEHIDUPAN MARISSA ANITA

Marissa Anita (GATRAnews/Eva Agriana Ali)
Jakarta, GATRAnews– Suasana kekeluargaan dan kebersamaan saat ramadhan kemudian Lebaran ternyata juga dirasakan oleh presenter berita televisi, Marissa Anita. Meski Marissa menganut agama Katolik, namun banyak pengalaman unik seputar puasa dan Lebaran yang dialaminya saat kecil, karena keluarganya yang memiliki beragam agama dan kepercayaan.”Ibuku Minang, Muslim. Bapak Jawa Cina, Katolik. Waktu kecil lucu, tidak seideal bayangan sih, namanya bapak ibu masih muda. Bapak narik ke Katolik, ibu dan nenek narik ke muslim. Aku diajarin salat dan lain-lain, tapi di saat yang sama ke gereja juga. Umur 4-5 tahun dikasi sajadah sama nenek dan ikutan salat juga,” ungkap Marissa saat ditemui di kawasan SCBD, Jakarta, pekan lalu.Mendapat pengaruh dari dua agama, Marissa mengakui ia menyerap nilai-nilai dari keduanya. Meski sempat bingung dan ikut sana-sini, Marissa percaya yang terpenting adalah bagaimana seseorang berbuat kebaikan terhadap orang lain. Perempuan kelahiran Surabaya, 29 Maret 1983 ini juga mengagumi ibunya yang walaupun sedang menjalani ibadah puasa, tetap akan selalu memasak buat anak-anaknya.”Hebatnya dia pagi siang malam akan tetap menyiapkan makanan untuk anak-anaknya. Buat ibuku, puasa itu melatih kesabaran sekaligus menyebarkan cinta kasih. Dia nggak merasa terganggu atau orang harus hati-hati sekitar dia. Kan godaan sengaja ada agar menguji tahan atau nggak. My mom is a great example,” tutur anak tengah dari tiga bersaudara ini.Meski tak menjalankan puasa, namun suasana Lebaran yang diisi dengan makan bersama keluarga menjadi kenangan yang manis buat Marissa sendiri. Apalagi ia kangen dengan masakan sayur ketupat ibunya. “Kalau Lebaran, ibu masak ketupat enak banget. Mom I love you. Keluarga ibu dan bapak semuanya di Surabaya jadi kalau momen bersama ibu saat Lebaran cuma berlima aja. Kita semua bareng Natalan iya, Lebaran iya, dan Chinese New Year juga,” demikian Marissa. (*/Ven)

Jawa Pos

Jawa Pos, Sabtu 6 April 2013

Marissa Anita JP0604_10-11

Esquire – Women We Love

ESQ1

ESQ2
ESQ3

Tabloid Nova, HUT ke 25

image.php

nova

Daily Sylvia

THE IDEAL WORLD FOR MARISSA ANITA

Penampilan yang segar diiringi suara tawanya yang khas membuat siapapun enggan melewatkan pagi berjauhan dari televisi. Di luar aktivitasnya di depan layar, perempuan ini masih sempat membagi energi untuk teater dan film yang disebutnya sebagai cinta keduanya.

MEMASUKI apartemennya yang mungil di kawasan Sudirman, segera tertangkap kesan bila sang pemilik adalah pencinta film kelas berat. Deretan DVD berjajar memenuhi rak berdampingan dengan buku-buku, majalah serta aneka pajangan yang ditata secara personal. Setumpuk DVD baru yang masih tersegel rapi diletakkan begitu saja di sudut meja ruang tamu yang didominasi warna pastel tersebut, “Baru datang dari Amazon, nih. Rata-rata film Meryl Streep, aktris favorit saya!” ujarnya sumringah. Ditemani fusion tea yang diseduhnya dalam keramik cantik asal Bagan Siapi-api, Marissa yang baru saja menuntaskan tugas siarannya bercerita dengan lancar perihal pekerjaan, passion dan hal-hal yang tidak banyak diketahu orang tentang dirinya.

Sebagai presenter di program pagi hari, bagaimana tipikal hari Anda?
Saya sampai di kantor jam 6 kurang untuk mempersiapkan siaran. Mulai dari mengedit naskah, riset, dan mengolah dialog sebelum akhirnya dirias dan tampil live selama tiga jam di 8-11 ShowIt’s a breakfast show. Kami menyampaikan berita tanpa berjarak dengan pemirsa kami. Mulai dariparenting issue, politik, gaya hidup dan komunitas. Banyak kejadian seru setiap hari, termasuk hal-hal yang tidak diduga. Misalnya saat tersandung atau terpeleset lidah, ya dibuat improvisasi saja. Atau kadang ada narasumber yang tidak menjawab sesuai dengan ekspektasi, ya dikejar saja sampai benar-benar mendapat jawaban yang diinginkan.

Bekerja di stasiun televisi berita, ada tuntutan untuk tahu banyak hal?
Itu  hal yang sangat alami bagi seorang presenter, karena setiap hari dia ‘makan’ berita. Saat di rumah atau sedang bersantai pun, by default saya akan mencari berita. You just don’t wanna miss a thing. Because when you’re doing it, and you love the world, it something that becomes you.

Melihat karier Anda ke depan?
Saya akan  tetap di media karena ini adalah dunia yang saya cintai. Saya tidak terlalu tertarik terjun ke dunia politik karena untuk membuat perubahan atau pergerakan lebih susah. Against all odds itu melelahkan, loh. Lingkungan kadang tidak mendukung dalam membuat suatu kebijakan. Daripada menjadisingle fighter, saya memilih berkonsentrasi di media dan mencoba memberikan perubahan ke arah yang lebih baik. Mungkin lama, but I hope I’ll see a better Indonesia in my lifetime. Ha ha ha.

Anda juga aktif di teater, kan?
Yesss! Saya cinta banget dengan teater. Gara-gara waktu kuliah S1 di Atmajaya ada mata kuliah drama. Kami diundang untuk tampil di American Club oleh Jakarta Players, kelompok teater gabungan yang beranggotakan warga lokal dan ekspat  yang bergerak charity based. Semua pemasukan disumbangkan untuk pengembangan rumah warga miskin di Indonesia. Sejak tahun 2005 saya terlibat di sana. Terakhir saya ikut terlibat dalam Russian playThe Government Inspector dan Veronica’s Room yang disutradarai oleh suami saya sendiri. Very creepy. Saya suka peran yang ceria, tapi saya juga peran yang sangat serius dan drama. Karena sibuk, sudah hampir setahun saya tidak terlibat dalam produksi, mungkin saya akan ambil bagian dalam pertunjukan selanjutnya.

Arti akting bagi Anda?
My two big passions are journalism and film/theatre. Di saat penat dan suntuk di kantor, saya lari ke teater. Memang it’s another stress, karena harus menghapal naskah panjang, but it’s a good stress. Teater menyeimbangkan hidup saya.

Anda penikmat film, menulis resensi film. Tidak ingin ambil bagian dalam film Indonesia sekalian?
Pelan-pelan sudah.  Jadi kritikus film, jalan saya pun sudah menuju ke sana. Saya menjadi kontributor di suatu media online  dan menulis sebagian besar mengenai film, bukan sekadar sinopsis tapi memberikan analisa. Apapun yang saya tulis, nggak semua orang harus setuju. It’s the way I see it. Setiap kritikus film, mengkritik berdasarkan apa yang dia alami, pengalaman pribadi dan sejarah hidupnya, so it’s a very fascinating world. Selain itu saya juga pernah pernah bermain dalam film pendek Broken Vast bersama Edward gunawan, termasuk  mengisi suara dalam film Arisan 2 dan Modus Anomali. Sepertinya saya sudah di-tagged buat jadi pengisi suara ya, ha ha ha!

Tawa Anda sangat khas ya…
Ha ha ha. Eh, Ini turunan dari ibu saya. Kalau ketawa dia sangat “mhuawmhua hua”

Aktivitas favorit lainnya?
Memasak. Saya sering pulang bawa resep dari para chef di show untuk dipraktikkan di rumah. Saya juga mengoleksi beberapa buku resep seperti Nigela Lawson dan Jamie Oliver. Tapi setelah menimbang-nimbang dari perjalanan memasak sejak kuliah, kayaknya saya tetap lebih suka masakan Indonesia. Sekarang jadi ngerti kenapa orang Belanda ngotot banget mencari bumbu di sini, karena masakan Indonesia itu memang kaya banget.Indonesian and South Asian food are the best! Saya juga suka menulis dan berencana kelak membuat buku non fiksi mengenai perjalanan jurnalistik. Belum ketemu formatnya seperti apa, tapi mungkin 5-10 tahun lagi setidaknya buku itu sudah terbit.

Menjalani hidupnya saat ini, perempuan berusia 29 tahun merasa sudah menempuh jalur yang benar dan disukainya. “Seluruh bidang yang saya sukai, saya jalankan. Mulai dari jurnalistik, film, teater sampai memasak (I got to cook in my show and that’s great!). saya juga suka bahasa, mungkin karena dulu sempat sekolah pariwisata dan diajarkan berbagai bahasa seperti Jepang, Prancis dan Italia. Sekarang mungkin saya berada di level 4, namun saya akan berusaha mencapai level 10 dalam hidup saya. I’m happy with who I am right now and with what I do.”

Anda kan sudah menikah, masih bisa hang out sama teman-teman?
Masih banget. Suami saya sangat suportif. Lingkaran pergaulan kami juga sama. Ada saatnya saya ingin ngumpul sama sahabat-sahabat wanita saya, dan dia sangat membebaskan. Saya pikir hubungan yang sehat memang sudah seharusnya seperti itu. Tidak saling membatasi. Just let each other breath and let each other grow. Dalam pergaulan, saya sangat menjunjung keterbukaan. Blak-blakan saja. Itu yang bikin hubungan dekat dan saling tahu satu sama lain. It’s almost like a marriage. Tapi mungkin buat sebagian orang saya ini terlalu jujur dan terlalu terus terang ya, ha ha ha.

Siapa sahabat dekat Anda?
Andrew, suami saya. Dengannya, saya bisa benar-benar ngomongin apa saja. Dari pertemanan, masalah, pekerjaan dan saya tetap merasa secured. Sari Latief is my second best friend. Oh, but in some cases, my mom is my second best friend too, ha ha ha!

Hal yang orang tidak banyak tahu tentang Marissa Anita?
I work too hard. Sometimes. Saya tidak punya batas dalam bekerja. Akhirnya kadang-kadang burn out, dan suami harus memaksa saya untuk rehat sebentar. I just can’t stop to think about so many things. I have to be able to control it. Dari kecil diajarkan untuk tidak menunda apapun, dan itu tercermin dari cara saya menjalankan pekerjaan.

Pendapat orang lain, penting buat Anda?
Saya tidak pernah melihat diri saya berbeda, jadi kadang saya surprised saat tahu ekspektasi orang lain terhadap diri saya. OK, I’m on TV. But that’s my job. Soal kritikan atau pujian, that’s part of life. In life, there’s always people who love you, there’s always people who think you’re OK and there’s always people who hate you for whatever reasons.

Anda cukup aktif di twitter. Apakah popularitas membuat Anda mengontrol isi tweet Anda?
Twitter is a fantastic tool for spreading good ideas and good values. Saya percaya orang mengikuti kita karena  menyukai ide dan pikiran kita.Downside dari social network ini adalah kadang masuk ke wilayah yang terlalu personal dan membuat orang lebih ‘berani’ kejam satu sama lain. For me personally, I hate twit-war because you’re hanging your dirty laundry for people to see. Buat apa? Buat sensasi? Menambah jumlah follower? Saya tertarik menjadikan twitter sebagai sarana berbagi informasi dan ide saja.Nothing personal.

Filosofi hidup Anda?
Hidup itu terlalu singkat buat menyenangkan orang lain tanpa memikirkan diri sendiri. Always do what you love. Otherwise, what’s the point of living? DS (Jessica Huwae/Foto: Pandegajaya)

Jakarta Globe

Every audience member walking out of the American Club after seeing the Jakarta Players’ production of Ira Levin’s “Veronica’s Room” this weekend may be doing one of two things on their way to the parking lot: Wiping sweaty palms on their pants and shaking their heads or separating themselves from the disturbed crowd and pointing a finger in their friends’ faces, saying: “See. I told you so!”

A thriller in two acts, “Veronica’s Room,” aspires to be an hour and a half of unsettling, brow-furling theater the likes of which Jakarta has never seen.

Ripe with layered dialogue, deceit and principle discord, “Veronica’s Room” should be as much fun for the audience as it is for the four actors on stage.

With just the right recipe for perfect theater — deep dark secrets and a perfectly placed red herring — the Jakarta Players, a non-profit community theater, will spend Friday through Sunday making audiences fall in love with the characters and then breaking their hearts.

“There are these interesting revelations that happen throughout the play,” said Ari Bassin, an experienced actor from New York, who plays Larry in the production.

“You’re never quite sure of who to believe.” You don’t realize how much the playwright, Ira Levin, is alluding to what’s going on until you know what’s going on.

If you don’t know what’s happening you can’t see the train wreck coming.

For more than 40 years now, the Jakarta Players, whose English-language performances feature a mix of international and national talent, have been mainlining culture into the veins of the capital.

While the rest of the city is off enjoying Hollywood’s cookie-cutter plot lines and filling their mouths with popcorn, the cast and crew of the troupe, which puts on four or five productions a year, has been providing audiences with world-class, provoking theater, plenty of laughs and now, a reason to never trust strangers. “

Veronica’s Room,” director Andrew Trigg chose Bassin, Metro TV’s Marissa Anita, Roy Marsh and Angela Black from Britain to bring the play to life.

“I chose to direct it because I think it’s one of the most suspenseful and dramatic plays that can possibly be staged with a small cast in a one-room set,” said Trigg, who has been with the Players for about eight years.

Levin, whose credits include “Rosemary’s Baby,” and the Tony-nominated “Deathtrap,” opens “Veronica’s Room,” which takes place in the early 1970s just outside of Boston, with Larry and Susan, out on their first date, approached by an elderly Irish couple at dinner.

The older couple is amazed at Susan’s resemblance to Veronica, a girl whose wealthy family they worked for as servants in the ’30s.

The Irish couple asks Susan if she would be willing to visit the old house where Veronica lived as a child so she can see a photo of the girl and take a look at her room.

She agrees to the odd request and the audience’s ride begins.

Families are complicated. This one is no different, with a closet ripe with skeletons bursting open and drenching the audience in intrigue.

“I don’t want to give anything away about the plot, but I want to point out that the play is really not suitable for children! It’s very rare to see this kind of play in Jakarta and we’re hoping many Jakarta residents will come to experience it,” Trigg said.

“It isn’t just a play, it’s an experience.” Bassin couldn’t agree more. “You gotta play with people,” he said. “Let them think, ‘oh, things will be fine.’ But they’re really not fine.”

But the Jakarta Players don’t just play with people’s minds, when they’re not busy putting on productions they also get Jakarta’s gutsiest actors to come together for monthly improvisation and drama nights and use the profit from productions to give back to the community.

Proceeds from the November production of “Veronica’s Room” will go directly to Habitat for Humanity.

“We’ve been working with Habitat for Humanity for almost a year now and the idea is that with each production we raise enough money to build one house to give an Indonesian family a home,” Bassin said.

“Habitat has a lot of work to do in Indonesia so this is a nice partnership.” Jakarta Players membership is free and open to anyone interested in theater.

The group doesn’t just put on plays, but provides Jakarta’s theater-loving community with a monthly night out where the players drink, chat and do a bit of improv.

Making things even more interesting, the eclectic group crosses generation lines, from high school students to retirees.

“For me it’s about finding the right balance in life between focusing on your work here in Indonesia and being able to have a creative outlet,” Bassin said.

“Finding all those different pieces of the puzzle: It’s a social outlet, you get to be creative. It keeps life from being too one note,” he added.

‘Veronica’s Room’ 
Nov. 5 — 8 p.m.
Nov. 6 — 8 p.m.
Nov. 7 — 3 p.m.
American Club, Jl. Brawijaya IV No. 20 Kebayoran Baru, South Jakarta 12160
Ticket inquiries can be addressed to jakarta.players@yahoo.com or contact 081383972314
For more information visit http://www.expat.or.id/orgs/jakartaplayers.html

MY JAKARTA PLAYERS!

Jakarta Actors Combine Work and Plays
Ade Mardiyati | November 05, 2009

The Jakarta Players pose for a picture on Drama Night; members of the group in their production of “Godspell.” (Photo: Ade Mardiyati, JG)

For more than four decades, a community of Indonesians and expatriates has been getting together to dig out their hidden acting talents. Jakarta Players, as the group is called, has 333 members and has performed famous plays, including “The Dining Room,” “Godspell” and “Murder on the Midway.”

Andrew Trigg, president of Jakarta Players, said he wasn’t entirely sure how the group began, but it was 41 years ago.

“Back in the 1960s there was much less entertainment than today and not many entertainment options for expatriates in Jakarta,” he said.

Although Jakarta Players has hundreds of members, far fewer are active in the group, said Andrew, who is from the United Kingdom and has lived in Indonesia for 20 years.

“Expats arrive and leave, new people come in, and it’s always been like that,” said Andrew, the director of management consulting company SolutionWorks. “It was probably much bigger in the past than it is now. Today, we have to compete with cinemas, karaoke and malls to attract people to come for entertainment.

“But we have board meetings every month. We make plans for annual shows. We select plays, conduct auditions, sell tickets. The active members are also involved in the productions.”

The group, whose members share an interest in English-language drama and theater, gathers the first Friday of each month for a Drama Night, during which participants perform short plays, fairy-tale improvisations and play games. The session is also a chance to attract new members.

“Friends tell their friends about this group, and they come. We welcome everyone,” said Andrew’s wife, Marissa, the membership coordinator and a Metro TV presenter. “We go out of our way to make people feel at home, especially new members.”

Newcomers are welcome to get up on stage and perform, Andrew said. “We never force people, though. If they don’t want to, they can just sit and watch others performing.”

Last month’s Drama Night was a particular success, as several people new to the group took to the stage to perform a courtroom scene.

“And they didn’t seem to be nervous or awkward. [Their acting] was fantastic!” Marissa said.

The Jakarta Players’s members come from all walks of life and from many different nations.

“Unlike other organizations in Jakarta defined by their nationalities, we are defined by a common love of drama,” Andrew said. “I think that is pretty much what draws people to join.”

Marissa said the Jakarta Players included embassy staff members, teachers, international school students and more. “It is definitely a melting pot.”

Ferdina Siregar, or Dina, works as a compliance manager for an insurance brokerage and joined the group in October.

“My friend told me about this and I wanted to come,” she said.

October’s Drama Night was her first experience with the group and she happily took part in a game. “I played the ‘Helping Hands’ game with my friend in front of other members. I wasn’t nervous at all,” she said, referring to an improv game many people know from the TV show “Whose Line Is It Anyway?”

“People laughed and that was awesome for me. I just loved it and want to come to Drama Night regularly.”

Another member, Yuventius Nurman, known as Yuven, joined the group in March this year and has already been involved in a production.

“I was in a play called ‘Assorted Nuts,’ ” said Yuven, a consultant for the provincial government of Yogyakarta. “Most of us live a high-paced life. So I thought this would be a great chance to meet new people and to speak English at the same time.”

Jakarta Players’ youngest member, Belinda Betz, said that her parents had dragged her to the group a few years ago.

“They did that to keep me out of trouble, you know, typical teenager,” the 16-year-old German national said with a laugh.

Betz auditioned for a role three years ago but was not successful.

“I wanted a role as a fat woman but didn’t get the part because they said that I wasn’t fat,” she said.

When she finally got a chance to act on stage, she was nervous.

“But I trusted the actors I was on the stage with. I think I am improving,” she said. “And what is more important, it has always been really great and nice to be in this group.”

Both Andrew and Marissa said “The Dining Room” was one of their most successful productions.

“There was only one set,” Marissa said, “and we had only six actors for the play, but they played 52 characters. And I think it was really great.”

The group has planned their next major production for early 2010, Andrew said. The costs of productions are mainly covered by the group, although they now have a sponsor to assist. Ticket sales also help allay costs.

“But the tickets are cheap, they range between Rp 50,000 and Rp 100,000 [$5.25 to $10.50],” Andrew said. “And the profits from the sales of tickets always go to charity.”

Most members feel they benefit from being part of Jakarta Players.

“It gives me an option for having fun,” new member Dina said. “It’s a totally good way to have a great time!”

Superbooy