600 Detik Guncangan di Angkasa dan Refleksinya

Suatu ketika dia di atas pesawat. Selagi melayang, tetiba terguncang angin yang sepertinya sedang kesal berat. Perut dia terkocok, pikirannya agak kalut, degup jantung pelan-pelan makin cepat. Dug . . . Dug dug . . . Dug dug dug dug dug . . . Dug . . . Dug . . .

Memang bukan pengalaman dekat sekali dengan kematian. Tapi setidaknya sudah tercicipi awalnya.

Tiba tiba dia yang tidak lagi religius menemukan dirinya berkomat kamit Bapa Kami, serangkaian kalimat menenangkan yang dulu paling dia suka. Yang ketika remaja menjadi tumpuan damai di saat hidupnya terkocok keadaan dan perilaku orang-orang (terkasih) di sekitarnya.

Meski rasa takut mulai menyelimuti pikirannya, tapi dia juga berpikir: ‘Kalau memang ini adalah saatnya untuk meninggalkan semua di dunia, mau apa lagi? Yang akan terjadi, terjadilah.’

Karena dia sudah pernah mencinta luar biasa, dan dicinta luar biasa. (Yah memang ujung-ujungnya cinta itu bisa mengisi lubang lubang di hati). Dan ketika itu sudah pernah diberikan dan diterimanya setulus mungkin, kematian yang bisa terasa mengancam, seperti bisa diterima dengan cukup lapang dada. Benar? Atau tidak benar? Atau kurang benar? Atau salah total?

Ah, hidup toh masih bergulir, masih bisa berubah-ubah. Yang benar bisa berubah menjadi tidak benar; yang tidak benar menjadi kurang benar; yang kurang benar menjadi benar; dan seterusnya. Ya khan?

. . .

Ajal ternyata hanya numpang lewat. Turun dari pesawat, dia terbatuk batuk untuk mengurangi mual karena kocokan angin iseng sialan itu. Dia cukup lega bisa menghirup udara bebas meski beraroma aftur. Lega karena ternyata masih ada kesempatan untuk mengecap kompleksitas hidup yang kadang bikin pusing tapi terus membuat penasaran untuk ditelusuri, dipahami, ditenggak dan dirasakan sepenuh mungkin, sampai ajal akhirnya menjemput benaran.

%d bloggers like this: