Sex & the City 2

THE GIRLS ARE BACK! Carrie Bradshaw, Charlotte York, Miranda Hobbes dan Samatha Jones mungkin menjadi empat tokoh televisi wanita paling digandrungi di tahun 90an hingga pertengahan 2000. Jutaan wanita di dunia memuja mereka, menjadikan mereka inspirasi dalam hidup – terkait hubungan dengan pria, pekerjaan, keluarga, dan tentunya pertemanan. Saat serial Sex and the City berakhir pada 2003, sejumlah penggemar patah hati. Ketika tampil di layar lebar untuk pertama kalinya pada 2008, sejumlah pesta dan nonton bareng premiere diadakan, termasuk di Jakarta. Sambutan secara umum dunia internasional pun cukup baik. Saya sebagai salah satu penggemar berat puas dengan Sex and the City: The Movie yang menyajikan kisah yang lebih dalam dan serius mengenai lika-liku kehidupan ke-empat wanita kosmopolitan ini. Sayangnya, tahun ini, Sex and the City 2 gagal memberikan kepuasan yang sama.

SATC 2 menceritakan kehidupan Carrie Bradshaw pasca menikah dengan John Preston atau “Big”. Di film pertama, Carrie mencari cinta. Di film kedua, Carrie berusaha memelihara api asmara dalam pernikahan. Setelah dua tahun menikah, Carrie merasa bara cinta antara dia dan Big menurun. Carrie kuatir mereka perlahan menjadi pasangan menikah yang membosankan – menjalani pernikahan karena terbiasa, bukan lagi karena cinta. Kekuatiran ini diperparah saat Big meminta 2 hari (dalam seminggu) untuk menyendiri. Carrie ternyata tidak sendiri. Charlotte sering letih dan frustrasi mengurus dua anak perempuan lucu hasil pernikahannya dengan Harry Goldenblatt. Ia kemudian menggunakan jasa seorang pengasuh yang cantik bertubuh sintal. Pikiran mengganggu tumbuh dalam benak Charlotte – khawatir apakah sang suami bermain mata dengan pengasuh kedua anak mereka. Tema besar film ini yakni kesetiaan dalam sebuah ikatan – baik antara kekasih dan pasangan menikah (sesama jenis dan lain jenis). Hak suara wanita dan persamaan derajat menjadi tema tambahan.

Dalam film ini, New York bukan menjadi lokasi satu-satunya. Samantha diundang seorang Arab super kaya untuk tinggal di hotel mewahnya di Abu Dhabi. Tentunya, Samantha mengundang ketiga temannya, jadi lebih dari separuh film ini menceritakan petualangan mereka di Abu Dhabi.

Namun, pilihan lokasi ini tidak berhasil. Sutradara/ penulis Michael Patrick King menyajikan klise-klise dunia Arab yang mungkin berdasarkan pengetahuan terbatasnya mengenai Timur Tengah. Carrie, Samantha, Miranda dan Charlotte sering digambarkan sebagai makhluk yang lebih “tinggi” daripada orang Arab dan hanya Miranda yang menunjukkan niat untuk memahami dan menyesuaikan diri dengan budaya baru ini. Setibanya di Abu Dhabi, ke-empat wanita ini dijemput empat mobil mewah dengan empat pelayan pribadi. Hubungan antara empat wanita ini dengan para pelayan pribadi yang manut dan siap melayani mereka pun terkesan feodal – membuat simpati saya kepada mereka lenyap.

Film SATC: The Movie (2008) fokus pada perjalanan Carrie Bradshaw kembali bangun dari kekecawaan dan patah hati setelah Big, tunangannya, tidak jadi menikahinya. Kerangka utama film pertama ini jelas diselingi sejumlah kisah kehidupan tiga kawan Carrie yang mendukung jalannya cerita utama – jika dibayangkan, bagaikan batang pohon yang kuat dengan ranting-ranting yang mempercantik bentuk pohon. Dalam SATC 2, King berusaha mengangkat sejumlah isu wanita, seperti kesetiaan, stress yang dialami ibu dengan anak yang sedang tumbuh, menopause, penyeimbangan karir dan keluarga. Semua isu ini tentunya sangat relevan dengan kehidupan wanita yang hidup di kota besar. Namun alur cerita SATC 2 kali ini berantakan, tidak realistis bahkan terkesan sangat materialistis. Sejumlah produk perancang terkenal yang dulu hanya menjadi pemanis, kini mendominasi dalam film ini. Kabarnya sutradara/produser/penulisSATC 2, Michael Patrick King, rela menghabiskan budget film US$10 juta hanya untuk kostum wanita paruh baya ini. Nama merk-merk ternama pun bertebaran dalam dialog film – seakan King memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan produk-produk ini “dipasarkan”.  Hampir setiap adegan, ke-empat wanita ini ganti kostum. Penempatan kostum pun sering tidak realistis. Wanita mana yang (saat santai di rumah sendiri) memakai sepatu hak tinggi? Kegemerlapan berlebihan ini membuat fokus cerita buram dan karakter empat wanita yang dulu begitu dekat di hati, tidak lagi simpatik.

Meski telah memainkan peran ini selama lebih dari enam tahun, ke-empat wanita ini terlihat tidak nyaman memerankan empat karakter wanita favorit dunia ini. Walaupun mereka sudah mendekati usia 50 tahun, mereka berusaha tampil dan berperilaku seperti perempuan yang masih 30-an, dan kadang-kadang ini memberi kesan agak desperate (putus asa dan menyedihkan). Saya mengharapkan eksplorasi isu dan emosi yang lebih dalam dan riil daripada film sebelumnya, tetapi yang disajikan sangat dangkalsehingga saya kesulitan memandang mereka sebagai orang sungguhan.

Penampilan empat teman SATC agak mirip dengan adegan penyanyi legendaris Liza Minelli menyanyikan dan menarikan “Single Ladies” Beyonce Knowles di pernikahan pasangan gay Stanford Blatch dan Anthony Marantino – terlihat tua dan menyedihkan.

Kesimpulannya —  SATC 2 dapat menjadi angin segar bagi para penggemar dan menjadi ajang temu kangen dengan empat karakter wanita kosmopolitan ini. Naun bagi penonton yang bukan fans berat, film ini mengecewakan. Dari 1 sampai 10, saya berikan 4,5 untuk Sex kali ini.

IMDB: http://www.imdb.com/title/tt1261945/

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: