Setelah diputar beberapa kali sebagai promo di Metro Pagi, akhirnya film animasi karya Universal Studios ini diputar di bioskop. Selang beberapa hari setelah diluncurkan, pendapat kanan kiri mengatakan film yg dipenuhi makhluk kuning berbentuk kacang ini lucu sekali. Ingin ikut tergelitik, saya akhirnya menonton Despicable Me di salah satu bioskop di Jakarta.
Tiga bintang yang sekarang sedang naik daun turut menghiasi layar lebar. Komedian Steve Carell mengisi suara sang peran utama Gru – seorang kriminal kelas kakap yang hanya mau mencuri karya-karya besar dengan bantuan Dr Nefario (Russel Brand). Tiba-tiba reputasi ini diserobot kriminal pendatang baru Vector (Jason Segel) yg merupakan anak dari pemilik Bank of Evil. Vector berhasil menggemparkan dunia saat ia berhasil mencuri Piramid Giza di Mesir. Untuk menandingi keberhasilan Vector, Gru memutuskan untuk melakukan aksi yg lebih ekstrem – mencuri bulan!
Ide awal yang menjadi dasar film ini, menurut saya, tidak kuat. Dalam film buatan Perancis ini, pencurian bulan oleh Gru tidak memiliki resiko atau stakeyang tinggi – tidak dijelaskan sama sekali apakah hilangnya bulan akan berdampak buruk pada jutaan manusia di dunia. Malah film ini hanya berkutat pada persaingan antara Vector dan Gru terkait siapa yang akan menjadi kriminal terkakap di dunia. Siapa peduli dengan kemenangan seorang penjahat menguasai bulan? Alhasil ide dasar ini menjadikan Despicable Me film yang dangkal.
Film yang menarik selalu memiliki suatu unsur yang dipertaruhkan atau stake. Selain itu, film juga harus memiliki tokoh-tokoh/karakter yang membuat kita simpati dan mendukung mereka dari awal hingga akhir cerita. Enam puluh menit film berlangsung, Gru masih tidak memiliki sifat yang disukai penonton. Berbeda halnya dengan si kakek pemarah Carl di film animasi Up. Meski Carl sering cemberut dan emosian, pada awal film, penonton langsung diajak melihat sisi lembut Carl sebagai anak-anak, kekasih dan suami yang setia pada istrinya. Sehingga, penonton langsung tahu, dibalik wajah keras Carl, terdapat hati yang lembut.
Tiga gadis kecil yatim piatu yang diadopsi Gru sesekali menjadi pemanis. Tiga gadis kecil inilah yang nantinya merubah Gru menjadi orang yang lebih baik. Meski begitu Margot (Miranda Cosgrove), Edith (Dana Gaier) dan Agnes (Elsie Fisher) ini pun hanya mengandalkan sikap cute (manis dan lucu) untuk menarik perhatian penonton. Itu saja. Saya sebagai penonton tidak merasakan ikatan yang kuat terhadap ketiganya seperti saya “jatuh cinta” pada karakter Russ di salah satu animasi andalan Pixar Up. Hubungan antara Gru dengan makhluk berbentuk kacang kuning juga hanya sebatas atasan dan bawahan. Padahal poster Despicable Me memberikan kesan ada hubungan yang lebih personal antara Gru dan ratusan makhluk kacang ini. Makhluk kacang ini pun akhirnya terkesan hanya menjadi peramai suasana saja.
Setidaknya dari sejumlah poin negatif yang telah saya kemukakan, masih ada sisi positif dari film ini. Soundtrack Despicable Me setidaknya masih enak didengar. Karya musisi hip hop karya Pharell Williams yang muncul di sejumlah adegan menceriakan suasana dengan dentuman dan nada yang catchy yang memberikan semangat saat rasa kantuk melanda. Satu-satunya humor cerdas yang berkesan adalah saat Gru mencoba meminta pinjaman dari Bank Kejahatan atau Bank of Evil untuk muluskan proyek pencurian bulannya itu. Tepat di bawah tulisan Bank of Evil: “Dulu Dikenal Sebagai Lehman Brothers” – sebuah perusahaan layanan finansial yang koleps dan menghancurkan ekonomi dunia pada tahun 2008.
Sebagai film anak-anak, mungkin Despicable Me mungkin sukses. Tetapi bagi orang dewasa, film ini jauh dari memuaskan. Apalagi mengingat begitu banyak film animasi sukses yang dapat dinikmati segala usia seperti How to Train Your Dragon dan Toy Story 3. Secara keseluruhan Despicable Me tidak jauh dari arti judulnya. Ironically, Despicable Me is indeed despicable.
Durasi: 95 menit | Sutradara: Pierre Coffin & Chris Renaud | Penulis: Sergio Pablos & Ken Daurio