“Seluruh pejabat bermental busuk di Indonesia perlu menonton Soegija. Sekian.” (Marissa Anita, Twitter, 10 Juni 2012)
Demikian reaksi saya seusai menonton karya teranyar sutradara Garin Nugroho: Soegija. Film ini berkisah tentang kehidupan masyarakat Indonesia saat jaman perang pada tahun 40an. Saat itu Belanda dan Jepang menjajah bumi tercinta. Dan pada periode inilah Mgr Albertus Soegijapranata SJ diangkat menjadi uskup pribumi pertama di Indonesia. Soegija tidak hanya memiliki kepandaian otak tetapi juga kepandaian emosi. Ini menjadikannya salah satu pahlawan nasional Indonesia. Lebih dari 60 tahun sudah Indonesia merdeka. Namun apakah kita benar-benar sudah merdeka?
Sebagian mungkin mengkritik film ini tidak mengeksplor profil Soegija secara utuh. Nilai-nilai yang Soegija embanlah yang menjadi fokus film ini. Film ini terinspirasi dari catatan harian Soegija. Dalam buku hariannya, Soegija menuangkan nilai-nilai dan ide-ide logis sederhana namun memiliki dampak berarti dan signifikan bagi masyarakat Indonesia saat itu. Catatan inilah yang juga menjadi benang merah yang mengaitkan kisah kehidupan msayarakat Indonesia, Belanda, Jepang dan Tionghoa yang tinggal di bumi pertiwi dan dampak perang terhadap kehidupan mereka. Dari kisah mereka, Garin menceritakan berbagai dilema permasalahan Indonesia yang relevan hingga kini.
Untuk Soegija, Garin melibatkan lebih dari 2.700 pemain dan menghabiskan dana Rp12miliar – ini adalah film termahal Garin. Pemain yang berjumlah ribuan, kostum serta lokasi yang sesuai dengan era 40an membuat film Garin kolosal dan real. Meski film ini bertema besar perang, Garin tidak lupa membubuhkan humor humanis di sana-sini. Salah satu adegan berkesan datang dari hubungan antara Soegija dengan pembantunya (Butet Kertarejasa). Keduanya bercengkerama layaknya teman karib, saling menghormati namun juga terkadang saling mengejek dengan canda. Selain Butet Kertarejasa, sejumlah adegan dengan dengan para aktor Belanda (Wouter Braaf dan Wouter Zweers) dan anak-anak dengan tingkah polah lucu yang “so Indonesia” menjadi highlights film ini. Di Soegija, Garin memanjakan mata penonton. Sinematografi Soegija mengagumkan.
Soegija akan membuat Anda benar-benar rindu akan pemimpin sejati. Pemimpin yang melayani daripada dilayani. Pemimpin yang memikirkan perut rakyat daripada perut sendiri. Pemimpin yang mengayomi dan menyejukkan di saat pihak-pihak tertentu berusaha memecah bangsa dengan alasan ras atau agama atau “faktor pembeda” lainnya. Menonton Soegija membuat kita sadar bahwa permasalahan Indonesia dari dulu sampai sekarang sama. Pikiran-pikiran revolusioner Soegija hingga kini masih sangat relevan. Namun bedanya, jika kita dulu dijajah Belanda dan Jepang, kini ironisnya kita dijajah bangsa sendiri yakni oleh pemimpin-pemimpin atau pengambil kebijakan strategis yang hanya memikirkan menggendutkan pundi-pundi mereka sendiri mumpung sedang berkuasa. Soegija? Wajib nonton!