“Kalau flu paling pas makan sup ayam.” Begitulah kira-kira isi tweet hari ini sambil berbagi resep sup ayam a la Barat favorit hasil iseng-iseng Googling. (Google. Penemuan yang sangat menyenangkan dan super berguna di era modern seperti kini. Banyak resep-resep OK tanpa harus beli buku atau pun mengorbankan pohon-pohon demi mencetak buku resep!)
Kembali ke topik, twitter entry kali ini mendapatkan berbagai tanggapan dari para follower terkasih. Salah satu tanggapan menggelitik datang dari Yuli Metri.
“Hobinya masak dan makan-makan. Tapi kok kurus ya?”
Terima kasih atas komentarnya Yuli. 🙂
Pertanyaan ini kerap juga muncul baik dari rekan kerja di kantor, sesama personel media di lapangan, dan teman-teman dekat. “Kemana saja makanan yang baru saja kamu makan?” kurang lebih seperti itulah tanggapan mereka (salah satunya rekan Rory Asyari) ketika melihat saya melahap makan siang sepuluh tusuk sate ayam, sepiring nasi dan semangkuk bakso bihun di warung “Maknyus” di sebelah gedung kantor.
Apa rahasianya?
Selain seni, saya sangat menikmati makanan. Makanan adalah salah satu dari sekian banyak kenikmatan terindah yang Tuhan berikan kepada manusia. Untuk itu, saya kerap mementingkan kualitas dari kuantitas. Kalau makanan enak, meski hanya satu porsi, nikmatnya memuaskan dan membuat hati senang.
Bagaimana dengan pola makan?
Saya sangat jarang sarapan di rumah di pagi hari. Berat rasanya menyiapkan sarapan saat mata mengantuk sementara harus menyeret diri keluar rumah untuk memulai hari, mempersiapkan 811 Show. Beruntung breakfast show ini hampir selalu menghadirkan chef dengan berbagai keahlian untuk membagi “Resep Hari Ini” bagi pemirsa kita. Jadi waktu icip-iciplah menjadi “ajang” sarapan saya di pagi hari. Itu pun biasanya hanya satu (kadang dua atau tiga) sendok, atau semangkuk. Cukup untuk bertahan hingga makan siang.
Nah, makan sianglah menjadi waktu tepat untuk menikmati makanan dalam porsi normal (atau lebih, tergantung tingkat kelaparan hari itu). Jangan makan terburu-buru. Nikmati setiap suap, aroma dan rasa makanan itu. Ketika piring Anda bersih, Anda tidak hanya kenyang namun juga bahagia dan puas. Biasanya kalau makan dengan porsi mengenyangkan di siang hari, Anda pun akan kenyang lebih lama.
Saat kenyang lebih lama inilah Anda bisa memutuskan akan makan malam atau tidak. Ketika masih kenyang, saya biasanya memilih makanan yang ringan. Apakah itu salad, sup ayam dan sayur, buah (apel, pisang, kiwi, rambutan, mangga . . . apa saja, kecuali duren lho ya), yoghurt buah, atau segelas susu (rendah lemak bisa menjadi pilihan). Kata spesialis gizi klinik dr Fiastuti, protein itu bisa membuat kenyang lho.
Saya pun mengurangi konsumsi gula, garam dan lemak berlebihan. Bukan karena takut gemuk, melainkan lebih kepada ingin hidup sehat dan tentunya (semoga) hidup lebih lama. Ayah saya menderita diabetes (otomatis saya enam kali lebih rawan terkena diabetes). Sementara ibu darah tinggi. Konsumsi lemak jenuh dan tak jenuh pun seringkali cepat membuat kepala pusing. Gejala-gejala kecil tak mengenakkan itulah sebetulnya sensor tubuh kita yang ada baiknya kita dengarkan.
Dan satu lagi, olah raga. Pilihlah olah raga yang Anda sukai. Ada sebagian yang suka berlari di treadmill, ada yang suka di Gelora Bung Karno. Namun ada juga yang menganggap berlari itu membosankan. Banyak pilihan olah raga namun saya paling suka ikut kelas dengan dasar menari. Pada 1991 hingga 1998, saya menghabiskan dua hari dalam seminggu menari balet sambil asyik terbuai lantunan musik klasik. Menari membuat saya bahagia. Nah, kalau bisa bahagia sekaligus sehat, mengapa tidak?
Inti dari semua ini adalah selalu nikmati apa yang kita lakukan dalam hidup, sekecil apa pun itu, dan kita akan hidup lebih bahagia.