Kematian dan Ketulusan Cinta

Kematian seorang teman. Tak dekat. Beberapa kali bertegur sapa. Namun hanya sekali bercengkarama. Ringan namun pribadi. Dalam dan mengesankan. Hari ini, sang teman, jurnalis Djafar Assegaf meninggalkan keluarganya, koleganya, dan sebuah kesan malam itu. Malam dimana ia bercerita tentang kisah hidupnya. Pernikahan dengan seorang wanita Eropa yang tak disukai ibunya.

Pada tiap orang, ada yang ia bagi, ada yang ia simpan untuk dirinya atau hanya untuk rekan yang mengerti dan mau mengerti rahasianya. Semua itu ia tuturkan dengan bahasa Indonesia dengan intonasi Belanda. Bunyi yang mengingatkan pada era perjuangan, era di mana bangsa mengerti nasionalisme yang internasional. Elegan.

Di antara matahari pulang dan bulan menjemput malam, hangat air mata tiba-tiba membelai pipi. Bagai ada dua jiwa dalam dada. Yang satu sesak karena kepergian seorang teman. Yang satu sesak karena sang teman yang telah pergi mengingatkanku pada kehidupan yang fana. Bahwa suatu hari ku kan terpisah dari mereka yang kucinta. Cepat atau lembat. Kepastian ini membuatku gundah.

Meski ku berusaha menahan, derasnya air mata mulai mencekik hingga akhirnya ku bersimpuh di pelukannya dan katakan “ku sungguh tak bisa hidup tanpamu”.

Dia yang sungguh kucinta dan cinta aku dengan segala ketulusannya.

Kematian, mengingatkanku untuk jangan pernah menyia-nyiakan mereka yang memberi ketulusan cinta. 

%d bloggers like this: