Manusia menggunakan berbagai cara untuk mengatasi problema dalam hidup. apakah itu kesedihan, kesepian, atau depresi. Manusia mencari penghiburan dalam berbagai bentuk. Sebagian “menenggelamkan diri” dalam alkohol, sebagian mencari bahagia semu dalam obat-obatan terlarang, sebagian dalam seks, sebagian bahkan sampai menyakiti dan membenci diri sendiri — mulai dari memukul diri, mengiris nadi, hingga menjemput ajal dengan lompat dari atas gedung — semuanya demi mencari “kedamaian”.
Kini, dengan makin majunya teknologi, muncullah media sosial yang semakin lama hanya semakin canggih dan bervariasi. Sejak media sosial lahir, warga dunia menggunakannya sesuai kebutuhan masing-masing. Apakah itu untuk promosi, untuk berbagi inspirasi, atau mencela/ mencemooh satu sama lain. Kebebasan berekspresi bukan? Atau kebablasan berekspresi?
Saya tidak tahu pasti kapan tepatnya kutipan-kutipan motivasi mulai bermunculan di sosial media. Tetapi yang jelas kata-kata motivasi ini bagai pisau bermata dua. Ada yang suka dan ada yang tidak. Contoh kutipan motivasi seperti ini:
Yang suka, menganggap kalimat inspirasional memberi semangat hidup. Yang tidak, menjadi terganggu karena berbagai alasan pribadi masing-masing.
Mereka yang apatis mungkin saja telah makan asam garam dalam hidup. Ketika hidup dirundung pedih terus menerus, manusia mana yang tidak makin pesimistis? Karena mungkin dalam pesimisme, mereka menemukan kekuatan untuk melindungi diri dari rasa sakit. A motivation to survive. Sebuah “motivasi” untuk bertahan hidup. Sah-sah saja.
Bagaimana dengan mereka yang simpati/ suka dengan kutipan motivasi?
Beberapa hari lalu, saya bertemu seorang teman. Pertemanan kami sampai ke ranah sosial media. Saya termasuk penikmat kutipan motivasi di linimasanya. For some reason, it feels good to read, it gives me hope when I’m down, even for a second. Pikir saya, ketika seseorang memasang kutipan yang positif dan membangun semangat, pasti orang itu berada dalam kondisi bahagia, sempurna-lah hidupnya. That her/his life is smooth sailing.
Saya salah.
Ketika kami duduk bersama, di antara selingan sruput kopi dan kue yang empuk, kami saling membuka hati. Murung, desah ragu, semua bercampur sehingga membuat kopi dan kue yang seharusnya nikmat terasa hambar karena terbalut sedih.
Lalu mengapa kesedihan atau kepahitan itu tidak terpancar di sosial media?
Ketika ia memasang kutipan motivasi dan membacanya, ini membuatnya merasa tidak sendirian. Bahwa di luar sana ada yang bernasib sama (kutipan itu ditulis seseorang di luar sana yang pernah merasakan apa yang ia rasakan). Dan mungkin rasa ketidaksendirian ini memberinya harapan.
Saya boleh menyimpulkan, sang pesimis ternyata tidak jauh berbeda dengan “sang optimis”. Jika sang pesimis mencari kekuatan melalui pesimisme. Sang optimis mencari secercah harapan di saat sulit melalui “optimisme”. Jika kutipan motivasi mampu menyelamatkan seseorang dari penghancuran diri, mengapa tidak?
Ah, memang manusia kompleks. Namun yang jelas, bincang dengan seorang teman kembali mengingatkan saya pada sebuah kutipan.
“Don’t judge a situation you’ve never been in.”
“Jangan menghakimi orang lain ketika kita tidak pernah mengalami apa yang mereka alami/rasakan.”
Semua orang punya cara sendiri-sendiri untuk mengatasi masalah dalam hidupnya. Apa pun caranya, selama itu tidak menyakiti diri atau orang lain, sah-sah saja.