“Teman Lama”

Hisapan asap itu selalu membawaku ke malam-malam menyendiri di musim dingin di tanah kanguru. Sepuluh tahun telah berlalu. Tak pernah terpikir sedikit pun aku akan ada di sini sekarang. Berada dalam kondisi kini dan sekarang. Konsistensi membawaku perlahan ke tempat yang lebih tinggi. Tentu, hidup seakan tak lengkap tanpa momen pahit dan menyakitkan — kecil atau besar. Kegagalan dan rasa sakit ku pakai sebagai anak-anak tangga yang semakin kudaki, hanya membuatku makin kuat dan mantap. Setiap tahun, sebagian langkah terasa berat, meski berat ku maju terus. Setiap langkah mengakar kuat dalam tanah yang kupijak.

Kemarin, ku tak mampu berdiri. Pikiranku lagi-lagi nyasar ke titik-titik gelap yang dulu aku kunjungi. Kegelapan menyelimuti dengan senang hati seperti teman lama. Seorang Teman Lama yang menyapa dengan senyuman menyeringai yang mengerikan. Seringai yang kutakuti. Seringai yang tak sabar ingin menelanku bulat-bulat dalam kemuramannya. Dan ketika ia menelanku, tiap detik terasa seperti sejam, setiap jam terasa seperti sehari. Hari itu terasa seperti kemuraman bertahun-tahun. Ku tak kuat menahannya.

Aku muram, dikelilingi, dibanjiri ribuan tanda tanya dan ribuan andai. Mereka membuatku disorientasi, menyeretku ke ruang pengap tak tertahankan.

Tapi ku sudah belajar, ketika dalam kegelapan, terima dia dengan tangan terbuka. Biarkan dia tinggal bersamamu sampai ia memuaskan laparnya. Dan benar, hari itu, ku biarkan dia menikmati cita rasa dari setiap airmataku, berjam-jam, hingga ku tertidur, hingga dalam tidur.

Ku bangun merasa sebagai sisa-sisa. Kepalaku berat tapi aku bertekad hari ini ku akan putar peranku dengannya, sang Teman Lama.

Ku ajak bicara setan di kepalaku. Ku katakan padanya, ku berkata . . . “Sudahkah air mataku memuaskan dahagamu? Sudah kenyangkah kau pagi ini, Teman Lama?” Ku tersenyum. Dan senyuman itu membuat dia bosan denganku. Aku tidak lagi asyik diajak bermain. Aku tak seru lagi dipermainkan karena aku tidak menyerah meski dia telah membantai dan mengoyak jiwaku sehari sebelumnya.

Matahari terbit, dia mulai jalan menjauh. Matahari terbenam, ia pun menghilang dari pandanganku. Tapi ku sangat kenal dengan Teman Lamaku ini. Oh dia pasti akan kembali. Tapi ku ‘kan selalu buka tanganku dan memeluknya ketika ia datang. Tak apa, karena ku tahu aku akan selalu membuatnya bosan. Kemarin seharian penuh.  Lain waktu ku tak tahu berapa lama ia akan tinggal bersamaku. Teman lama akan selalu datang untuk menikmati deritaku. Tapi lagi-lagi, selamat datang selalu akan terucap dari bibirku untuknya, dan keesokannya lagi-lagi ‘kan ku buat dia bosan dengan sinarku. Karena ku tahu, pada akhirnya, cahaya dalam diriku akan selalu menang.

%d bloggers like this: