Ketika suara-suara mengHakimi itu masih terus menghantui, ia tersadar bahwa ia mulai kehilangan jati diri.
“Palsu! Naif! Jangan selalu menempatkan diri sebagai korban! Muak!” . . . terus bergema tiada henti, gema pengHakiman yang sebenarnya lahir dari kegelisahan Sang Hakim. Namun sayang, rentetan ujaran ini terlanjur merasuk dalam Hati.
Perkenankan saya bercerita tentang Hati.
Hati, dulu hangat dan terbuka, kini tak lagi menjejak pasti dan mulai membenci diri. Sekali lagi, Hati membenci dirinya sendiri.
Goresan dari sayatan pertama belum kering, sudah ditusuk lagi dengan belati ke dua. Luka kedua hampir sembuh, harus kembali sobek dengan hantaman ketiga. Darah segar mengucur deras dari Hati yang sudah biru hitam lebam. Merah darah menjadi simbol bara amarah dan rasa sakit yang lahir dari tuduhan tak berdasar.
Hati remuk akibat suara Hakim. Suara yang dahulu samar terdengar bak gaung dari nirwana ternyata hanya menyamar. Suara itu kini menjelma menjadi gemuruh parau yang pahitnya terasa di ujung lidah terluar, tengah, hingga kanan kiri, hingga pangkal, bagai empedu yang tak sabar mencengkik leher, merampok napas, merenggut, mengerut-keriput dan membekukan hati yang dulu merah, hangat, berdegup dan hidup.
Hakim telah mengkhianati rasa dan harapan dalam Hati.
Remuk redam, Hati masih berusaha untuk berdegup, sementara darah terus mengalir meninggalkan rumahnya. Hati mempercepat degupnya agar darah segera tinggalkan dirinya karena baginya, darah adalah sumber Rasa. Hati tak ingin lagi merasa. Ia mau Rasa hilang dan akhirnya mati.