Jujur saya tidak paham dengan aturan-aturan yang beberapa tahun terakhir muncul di Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika, dimana rekan-rekan Muslim tidak diperbolehkan mengucapkan selamat natal bagi rekan-rekan nasrani dan sejumlah aturan-aturan lain yang ditempelkan pada isu agama.
Saya tidak paham dengan berbagai aturan yang mengkotak-kotakkan kita manusia Indonesia yang selama ini satu karena saling menghormati dan menerima dengan lapang dada perbedaan yang ada sejak Indonesia terbentuk. Indonesia, terdiri dari ribuan pulau dan ratusan bahasa ini, bisa tetap satu dan kokoh karena prinsip ‘berbeda-beda tapi tetap satu’.
Saya lahir dari seorang ibu yang Muslim berdarah Padang; ayah yang Katolik berdarah Jawa Cina, kakak saya Katolik dan adik saya Kristen Protestan; keluarga besar, kolega atau teman ada yang Buddha, Hindhu, memeluk kepercayaan lainnya atau tidak memeluk kepercayaan tertentu, dan semua ini ada di sekitar saya sejak kecil, jaman sekolah hingga sekarang. Maka itu saya tidak pernah paham ketika muncul aturan-aturan baru yang tidak sesuai dengan hati nurani saya sebagai manusia Indonesia.
Di hari lebaran, kami sekeluarga merayakan bersama ibu kami yang Muslim, dan tentunya menjadi sesuatu yang alami bagi kami untuk memohon maaf lahir dan batin pada ibu. Ibu pun tak lupa menghaturkan pesan dan doa di hari Natal bagi kami anak-anaknya yang nasrani.
Kalau semisal ada pihak yang melarang kami, anak-anaknya yang nasrani, untuk mengucapkan selamat Idul Fitri kepada Ibu kami, dengan masuk akal kami akan tolak mentah-mentah larangan ini, karena mengucapkan selamat Idul Fitri kepada ibu kami yang berbeda agamanya adalah baik adanya.
Di sekolah dan kuliah pun saya ingat betul diajarkan toleransi beragama dan saling menghormati, bukan hanya memang itulah kurikulum yang diajarkan pada era orde baru, tetapi memang sikap sikap ini adalah baik adanya dan begitu alami untuk kita sesama manusia terutama – dalam konteks ini – manusia Indonesia.
Bayangkan apa jadinya kalau aturan anti toleran ini itu melarang kami untuk saling menghargai dan menghormati kepercayaan dan hari besar masing-masing, saya bisa ‘terpisah’ dari ibu saya, kakak saya, adik saya, teman-teman, guru-guru, rekan kerja dan semua orang di sekitar saya yang selama ini saya kasihi. Karena itulah saya dan keluarga saya yang ‘berwarna’ ini tidak pernah mengikuti aturan anti toleran ini itu yang, menurut kami, tidak masuk akal dan tidak sesuai hati nurani.
Ketika sebuah aturan melarang sesama manusia untuk berbagi kebaikan, kasih atau damai, aturan itu patut kita pertanyakan: apa dasarnya? Apa sesuai dengan jati diri bangsa? Siapa yang membuat aturan? Kepentingan (politik atau kekuasaan) apa yang bersembunyi di belakangnya? Apakah ketika kita pantulkan dengan hati nurani kita sendiri (bukan paksaan/pengaruh orang lain), baik atau tidak rasanya?
Di jaman keterbukaan dan begitu banyak informasi yang mungkin kerap membingungkan, patut kita selalu mendengarkan apa yang hati nurani kita suarakan sebagai kompas ketika kita bingung dan tersesat dalam lautan informasi dan suara-suara yang ingin memecahbelah damai dan persatuan di bumi Indonesia.
Aturan anti toleran ini itu berteriak memaksa kita untuk patuh. Teriakan dari segelintir kelompok ‘berkepentingan’ ini lantang seakan mereka empunya negara. Yang mengikuti aturan ini itu bisa jadi patuh karena takut dihakimi dan dikucilkan. Dihakimi dan dikucilkan mereka yang anti perbedaan/anti toleransi? Tidak masalah. Karena saya percaya, jumlah mereka yang anti-toleran tidak banyak dibandingkan manusia Indonesia yang toleran.
Kalau pun misal dengan menulis ini kemudian saya dikucilkan atau dihakimi mereka yang anti toleran, tidak masalah. Hanya sekedar berbagi pengalaman saya sebagai manusia Indonesia.
Saya yakin pengalaman hidup saya hanya satu dari ratusan juta kisah manusia Indonesia yang mencintai keberagaman karena toh di hari besar umat Kristen/Katolik tahun ini, masih ada saja teman Muslim yang mengirim doa dan harapan indah untuk saya. Doa dan harapan indah pun saya kirimkan kembali pada mereka.
Doa dan harapan indah tidak lupa saya haturkan pula untuk Indonesia yang satu.