Hari ini warga dunia penikmat fashion guncang dengan berita kepergian salah satu tokoh mode terbaik Amerika Serikat, Kate Spade. Perancang tas ternama ini ditemukan meninggal di apartemennya di kawasan elit Park Avenue, New York. Kepolisian New York menduga kuat Spade meninggal karena bunuh diri, selendang melingkari lehernya.
Kalau dilihat dari permukaan, profil Spade memang seakan punya segalanya. Pada 1999, ia menjual 56% saham dari perusahaan yang ia bangun kepada Department Store Amerika ternama Neiman Marcus sebesar US$33.6 juta. Pada Mei 2017, brand fashion ternama Coach juga telah mengumumkan akan merengkuh merk Kate Spade dalam sayapnya dengan harga US$2.4 miliar (Levenson dan Gingras, 2018). Dengan pemasukan berjumlah fantastis, tidak heran jika Spade berumah di Park Avenue, Upper East Side. Siapa pun yang tinggal di kawasan ini, tinggal jalan kaki kalau mau menikmati taman kota New York tersohor Central Park. Apartemen Park Avenue rata-rata bernilai US$7 -US$95 juta per unitnya (Adamczyk, 2014). Spade jelas punya uang, ketenaran dan kesuksesan. Lantas apa yang menyebabkan Spade mengakhiri hidupnya di usia ke-55?
Yang tahu pasti hanyalah Spade sendiri — cerita sedih dan depresif yang ia bawa ke kuburnya. Orang-orang terdekat di sekitarnya mungkin tahu, atau mungkin juga berspekulasi tentang apa yang ada di pikiran Spade. Sementara khalayak publik hanya bisa berasumsi dan mengambil kesimpulan berdasarkan rentetan kalimat yang tersusun dalam ratusan paragraf di Internet (baik fakta maupun rumor).
Kematian Kate Spade secara tidak sengaja mengajak kita berefleksi tentang bunuh diri.
Data World Health Organization menunjukkan, di Indonesia, 5000 orang meninggal bunuh diri pada 2010. Pada 2012, angka ini meningkat menjadi 10,000. Secara global, 800.000 orang meninggal karena bunuh diri. Ini setara dengan 1 kematian setiap 40 detik (Herman, 2014).
Memang, mengakhiri hidup itu, bagi filsuf seperti Jean-Paul Satre dan David Hume, adalah hak manusia (Burton, 2012). Tapi manusia juga punya hak untuk hidup (Equality and Human Rights Commission, undated).
Alasan bunuh diri pada setiap individu berbeda-beda, tapi intinya penyebabnya sama: bunuh diri karena tidak lagi tahan dengan tekanan hidup, baik tekanan dari eksternal maupun dari internal (harus diakui, terkadang diri kita sendiri adalah musuh terbesar kita — suara-suara gelap yang bercokol di sudut benak, tawa kecil yang menjadi terbahak bahak ketika melihat kita gundah kemudian hilang kendali. Familiar?).
Salah satu yang bisa kita lakukan ketika kita merasa tertekan adalah bercerita tentang kegundahan kita ke orang lain, apakah itu ke psikiater, atau ke teman atau keluarga yang kita percayai. Salah satu kunci untuk bisa meringankan beban mental seseorang, apalagi yang kita sayangi, adalah mendengarkan secara seksama dan dalam. Karena ketika seseorang tertekan, yang mereka butuhkan adalah didengarkan perasaan dan unek-uneknya. Tidak perlu selalu langsung memotong pembicaraan dan memberikan solusi, karena kerap manusia itu hanya butuh didengarkan saja kok. Ketika diminta masukan, berikan tanpa menghakimi. Duduk bersama dan luangkan waktu untuk mereka yang tersiksa jiwanya agar seiring waktu berjalan, semakin tenang pula jiwanya.
Waktu dan empati — dua hal sederhana namun punya kekuatan signifikan untuk membuat seseorang merasa lebih baik dan semoga, sedikit demi sedikit, menjadi makin jauh dari niat untuk mengakhiri hidupnya.
***
Bibliografi
Adamczyk, A, (2014, October 2014). Inside New York’s $95 million penthouse: 432 Park Avenue. Forbes. Retrieved from https://www.forbes.com/sites/aliciaadamczyk/2014/10/16/inside-new-yorks-95-million-penthouse-432-park-avenue/#593364754a86
Levenson, E & Gingras, B. (2018, June 6). Kate Spade, fashion designer, found dead, in apparent suicide. CNN. Retrieved from https://edition.cnn.com/2018/06/05/us/kate-spade-dead/index.html
Photo: CNN.