Makan siang yang seharusnya nikmat menjadi memuakkan ketika saya melihat seorang anak berusaha merekam/memfoto seorang anak lelaki gemuk – mungkin berusia 10 tahun – yang sedang menangis meraung karena diledek saudaranya. Sang perekam pun adalah anak lelaki seumuran berkacamata yang ternyata saudara kandung si bocah gemuk yang sedang tersiksa.
Saudara kandung mempermalukan saudaranya sendiri di tempat umum. Mungkin dia berpikir, betapa “keren”nya jika ia bisa mem-posting video/foto “Si Adik Cengeng” di sosial media, di Facebook? Twitter? Apa pun itulah dimana tombol LIKE menunggu untuk dipencet. Inikah generasi baru kita? Generasi yang terpapar kecanggihan digital, terpapar dampak negatif sosial media yang mendorong narsisisme — mencari popularitas di atas penderitaan orang lain – hanya demi mendapatkan belasan, puluhan, ratusan atau ribuan tombol LIKE?
Dangkal!
Yang lebih mencengangkan, di antara dua ‘preman’ kecil dan anak yang dipermalukan, ada lebih dari 5 orang tua yang tidak melakukan apa-apa ketika sang preman menjadikan saudara kandungnya sendiri korban bual-bualan hingga menangis kesakitan di depan publik. Mereka semua hanya menunduk, meneruskan makan seakan tak terjadi apa-apa. Seakan tak peduli apakah kericuhan ini mengusik kenyamanan tamu lain atau tidak.
Apakah karena budaya timur yang “mengedepankan” budaya malu sehingga lebih baik menyelamatkan wajah sendiri daripada mengakui ketiga anak “liar” ini sebagai bagian dari mereka?
Dua hal ini sungguh memuakkan!
Tanpa bermaksud rasis, keluarga disfungsional ini kebetulan berdarah Tionghoa. Saya pun berdarah Tionghoa. Ketika itu pun saya tersadar, teringat ketika kecil saya sering di-bully keluarga – oleh nenek saya sendiri, berdarah Tionghoa. Ketika saya menangis, nenek mengejek saya memanggil saya “Terompet!”. Saya menangis semakin keras. Dan makin keras saya menangis, ia semakin memanggil saya “Terompet!!” dan bibi saya pun ikut-ikutan meledek. Sekali lagi, tanpa bermaksud rasis sama sekali, saya jadi bertanya pada diri sendiri, apakah memang ini termasuk cara ampuh dari budaya ini untuk ‘mendidik’ anak? Ataukah ini memang budaya “Timur” secara umum? Ataukah kebetulan saja?
Kalau boleh mengemukakan pendapat pribadi, anak adalah tanggung jawab besar. Jika memang tidak siap dan tidak mengerti cara mendidik anak, jangan punya anak. Jangan hanya karena tekanan keluarga untuk berkeluarga, kita jadi salah kaprah — membesarkan anak tanpa tahu betul cara mendidik dan mendisplinkan mereka secara sehat. Ini hanya akan melahirkan generasi baru tanpa empati.
Kita adalah Manusia yang seharusnya merasa bangga ketika berbuat baik tanpa harus menunjukkan ke publik kita telah berbuat baik. Kita adalah Manusia yang merasa bahagia ketika orang yang kita sayangi bahagia. Kita adalah Manusia yang mampu berempati dan menyejukkan hati yang remuk. Kita adalah Manusia yang memberi cinta, kasih sayang dan ketenangan ketika orang tersayang menitikkan air mata.
Kisah ini untungnya berakhir baik. Seorang tamu, lelaki berusia 40 tahunan, mendatangi meja keluarga disfungsional ini dan dengan tegas memaksa preman preman kecil menghentikan perbuatannya. “Stop! STOP! Kamu bangga merekam tangis adikmu dan memamerkannya ke teman teman di sosial media?! Kamu bangga?! Kita manusia. Mampu berpikir. Mampu berempati. Pikirkan! Bertindaklah sebagai manusia. Jangan seperti binatang!” tegasnya. Ia memarahi sang preman. Nah giliran sang preman yang dipermalukan. Sang pria pun kembali ke mejanya, meneruskan makan sambil terus mengawasi dan memelototi preman preman kecil, memastikan ia tidak mengulangi perbuatannya. Tak lama ketika itu, barulah salah satu anggota keluarga dewasa mulai ‘mendidik’ ketiga anak ini, memarahi – memberikan pengertian — layaknya orang tua seharusnya ketika anak berlaku salah. Selesai makan, mereka meninggalkan restoran. Ibunda sang anak melambaikan tangan kepada sang pria 40 tahun dan pria pun mengangguk. Apakah keluarga disfungsional itu akan menjadi fungsional akibat kejadian ini, hanya Tuhan yang tahu. Tapi setidaknya, mereka kini sedikit mengerti apa itu menjadi Manusia.
Dan satu lagi, STOP BULLYING!